Malam tadi, saat aku sedang makan sendirian di ruang makan, Ibu mertua menghampiriku untuk memberikan informasi rencana umroh salah satu saudara. Ibu memang tahu bahwa aku punya keinginan untuk pergi umroh. Kurang lebih inti pembicaraannya seperti ini,
Ibu: Ca, Mba Uum sama anaknya mau umroh bulan Juli, Aca sama Budi bareng aja biar enak ada barengannya, barangkali jadwalnya cocok.
Aca: Iya, Bu, nunggu jadwal pasti Mas Budi dulu
Ibu: Kan enak kalau ada barengannya gitu, ke mana-mana jadi ada temennya
Aca: Gak ada barengannya juga enak-enak aja kok Bu, kan niatnya ibadah
Ibu: Ya jangan lah kalau gak ada barengannya, ntar kan pas di sana (Mekkah) Aca sama Budi misah, kalau ngga ada barengannya serem
Aca: Kan umroh banyak barengannya, Bu, misalnya sendirian juga gak apa-apa (si gak bisa nge-iya-in aja biar cepet, maksudku kan walaupun tidak bersama keluarga, umroh itu pasti rombongan...)
Ibu: Yaudah iya terserah, yang penting ibu udah kasih tahu
Maaf ya, Ibu. Menantu Ibu ini memang lumayan keras kepalanya, keras keinginannya. Di samping itu, menantumu ini ternyata tidak pernah terbiasa kalah dengan rasa takut.
Ada sedikit penyesalan setelah aku menyelesaikan makan malam. Pasti ada rasa kesal--meskipun hanya sedikit-di hati Ibu karena menantunya yang tidak penurut ini. Padahal seharusnya aku bisa saja menanggapi masukan Ibu dengan mengiyakan, "Iya ya Bu, pasti lebih enak kalau bareng Mba Uum, jadi ada temannya ke mana-mana". Tapi bodohnyanyatanya, aku tidak melakukan itu.
Beberapa menit aku termenung memikirkan itu, yang mengantarkanku pada sebuah kesimpulan bahwa aku tidak punya privilege untuk kalah dengan rasa takut.
Aku tidak pernah betul-betul mengizinkan rasa takut menghentikan keinginanku. Apakah karena aku seorang pemberani? Bukan.
It's because being fearful is costly, and I just couldn't afford it.
Ya, nyatanya untuk bisa memenangkan rasa takut seringkali membutuhkan harga yang tinggi.
Aku akan berikan beberapa contoh nyata.
Kelas 2 SD, berarti pada usia tujuh tahun, Mamah sudah mengajariku untuk berangkat dan pulang sekolah sendiri naik bus kota. Saat itu jarak dari sekolah ke rumahku sekitar 8 km. Cukup jauh untuk anak kelas 2 SD naik bus kota sendirian.
Apakah awalnya aku takut?
Tentu saja.
Tapi, saat itu, apakah takut bisa aku jadikan alasan untuk terus minta diantar-jemput oleh Mamah? Can I afford to be fearful?
Tentu tidak. Kalau aku takut, Mamah harus meluangkan waktu dan tenaga lebih untukku, dan itu artinya pekerjaannya akan terpotong. Harga yang harus dibayar, yang akhirnya terselamatkan karena rasa takut yang ku kalahkan.
Lalu saat lulus SMA aku diterima di UI, yang artinya aku harus pindah ke Depok dan mulai hidup sendiri. Aku pernah sedikit menceritakan kondisiku saat itu di salah satu post. Aku yang belum pernah pergi ke luar kota sendiri saat itu harus bersiap naik kereta ekonomi antarprovinsi sendirian, dan mendarat di Stasiun Pasar Senen dini hari.
Apakah saat itu aku takut?
Tentu saja.
Tapi, saat itu, apakah takut bisa aku jadikan alasan untuk merelakan peluang kuliahku di UI agar tidak perlu merantau? Can I afford to be fearful?
Tentu tidak. Kalau aku takut, aku akan kehilangan beasiswa yang saat itu memungkinkanku kuliah, dan itu artinya aku, atau siapapun itu, harus membiayai kuliahku. Harga yang harus dibayar, yang akhirnya terselamatkan karena rasa takut yang ku kalahkan.
Lalu tahun 2019 aku diterima di Telkom, qadarullah dapat penempatan di Pekanbaru, Riau. Harus pindah ke Sumatera sendirian?? Boro-boro saudara, satupun kenalan di kota itu aku tak punya.
Apakah saat itu aku takut?
Tentu saja.
Tapi, saat itu, apakah takut bisa aku jadikan alasan untuk membatalkan penerimaanku di Telkom, satu-satunya kesempatanku keluar dari garis kemiskinan? Can I afford to be fearful?
Tentu tidak. Kalau aku takut, aku harus mencari pekerjaan lain di Jakarta, yang kemungkinan besar kompensasinya segitu-segitu saja. Harga yang harus dibayar, yang akhirnya terselamatkan karena rasa takut yang ku kalahkan.
...
(minum dulu)
Aku tidak ingat kapan aku pernah menyerahkan diri kepada rasa takut. Sekali lagi, bukan karena aku seorang pemberani, melainkan karena aku tidak mampu membayar harga dari rasa takut.
Kembali ke pembicaraan umroh di awal. Apakah umroh tanpa ada kenalan (dalam hal ini wanita) itu mengerikan?
Bisa jadi.
Tapi, ketika ada kesempatan untuk berangkat namun tidak ada keluarga/kenalan lain, apakah aku perlu menghempaskan kesempatan itu?
Tentu saja tidak.
Hidupku tidak pernah se-berprivilege itu.
No comments:
Post a Comment